Chocolate Chip Cookie

Senin, 25 Juni 2012

Kesatria Malam Penyambat Nyawa

  Pagi menjelang di kawasan Purwosari, Gunung Kidul, Yogyakarta. Di bawah batas cakrawala nan tipis, lanskap laut selatan terlihat resah. Mengingatkan saya pada lukisan cat minyak: biru pekat berbaur hijau tua dengan ombak kelam mencuat-cuat dari atas kanvas. Kemudian di atas sana, campuran warna itu bagaikan tertapis oleh horison, melepaskan rona biru muda yang berlomba menuju zenit, jernih tak bermega.

  Batu-batu karang sebesar rumah bermunculan dari balik air di tepi garis batas laut dan darat. Sesekali riak-riak putih raksasa melahapnya dalam sekejap, diiring bunyi hantaman dahsyat serta suara sisa-sisa pecahan air yang membuat bulu kuduk berdiri.

  Sekitar 60 meter di atas golakan air, sekitar setengah tinggi Monas, Gunarso dan dua rekan­nya warga Kampung Klampok, Purwosari, Gunung Kidul, menapakkan kaki di bambu yang tersusun di antara dua tali tambang plastik berwarna biru. Berjangkar pada sebuah pohon sebesar lengan orang dewasa serta sela bebatuan, tangga tali ini berusaha mengikuti liuk tubuh sang tebing walau kadang harus mengalah dan menggantung di beberapa tempat.

  Seolah tak lagi peduli dengan kencangnya ter­paan angin laut yang siap merenggut tubuh dari tali, para pemburu ini pun turun. Tujuan mereka hanya satu: sebuah mulut gua di kaki tebing bernama Kayuwalang yang dihuni oleh ribuan kelelawar. Saya dan fotografer Dwi Oblo pun mengikuti mereka menuruni tebing dengan menggunakan single rope technique.



  Di bawah sana, setelah melewati bongkahan karang raksasa dan menerabas jalan air laut setinggi pinggang yang semakin lama semakin naik, kekelaman pun dalam sekejap menyergap. Angin laut segar tergantikan oleh bau kotoran kelelawar (guano) serta udara lembap yang terperangkap di dalam gua. Suara cericit kele­lawar riuh tertangkap telinga. Sepatu saya me­nyentuh dasar yang halus: pasir putih meng­hampar di dasar gua.

  Dalam bulat sorot sinar senter yang diarahkan Gunarso ke langit-langit, puluhan kelelawar terbang ke segala arah. Martono, rekan Gunarso, mengangkat dua bilah bambu berjaring setinggi sekitar sepuluh meter, tegak lurus ke atas langit-langit gua. Sambil menjunjungnya tinggi-tinggi di atas kepala, ia pun lari berkeliling.

  Dalam tiga jam mereka berhasil mengumpul­kan 300 kelelawar. Ketiga orang itu pun kembali ke arah karang raksasa di tepi laut lepas: Kembali mempertaruhkan nyawa mereka di ketinggian, di antara runcingnya karang serta hempasan air yang membentuk tirai raksasa, di atas tali yang sama yang telah mereka gunakan sejak delapan belas tahun yang lalu.

  Sukarwanti, seorang wanita paruh baya yang mengelola sebuah warung makan di Kecamatan Panggang, sekitar 45 menit berkendara dari tebing itu, berseri-seri saat melihat sekarung kelelawar yang dibawa oleh Gunarso.

  Saya baru saja duduk di sebuah kursi panjang dari kayu di dalam warung, saat sebuah piring makanan berisi dua puluh kelelawar bacem disodorkan tepat di muka saya. Dengan spontan, saya menggelengkan kepala. Sukarwanti pun berkisah tentang pelanggannya, seorang lelaki yang menderita sakit jantung. Saat pertama mem­beli kelelawar olahan darinya, lelaki itu harus dipapah saat berjalan. Keluarganya pun rutin membeli kelelawar. “Sekali beli, lima belas ekor,” kenangnya. “Dari mulai seminggu sekali, lama-lama menjadi dua minggu sekali, hingga akhirnya dua bulan sekali. Bapak itu kini sudah bisa ambil pensiun sendiri,” tuturnya bangga. “Saya lebih suka codot dari tepi laut, karena kalau dari gua di darat, biasanya apek,” imbuhnya. Sukarwanti yang meneruskan tradisi ini dari sang ibunda dan buyutnya, juga didatangi para pelanggan dari Pulau Sumatra dan Kalimantan.

  Keadaan medan karst Gunung Kidul yang tandus membuat warga yang bermukim di atasnya tidak memiliki banyak pilihan. Saat melihat kelelawar yang warnanya sudah berubah menjadi hitam di atas meja hidang, terngiang kata-kata Gunarso saat saya sedang menunggu giliran untuk menuruni tebing: “Di sini hidup itu keras, mbak.” Ya, selain menggembalakan ternak di musim hujan, lahan Gunung Kidul yang kering membuat dirinya memilih untuk mengambil kelelawar khususnya di musim panas, agar bisa menghidupi anak cucunya.

  Sementara di Kolaka, Sulawesi Tenggara, perburuan kelelawar tidaklah mengenal musim. Pemburu liar sering datang dan pergi dari daerah itu dengan mobil bak terbuka yang penuh dijejali oleh kalong. Mereka pergi melewati jalan trans-Sulawesi, menuju utara,” papar Amran, Kepala Resor Kolaka 2, Polhut Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tenggara.

  Ada saatnya pemburu tak perlu bersusah payah menempuh medan yang sulit untuk mengumpulkan kelelawar. Pada April 2011, sekitar 25 kilometer dari Kolaka tepatnya di Desa Tondowatu, belasan kalong bergelayut mem­bebani setiap pelepah pohon kelapa yang ada di sana. Lima ratus pohon kelapa milik penduduk pun tak lagi mampu berproduksi. Sigit Wiantoro, peneliti dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Puslit Biologi LIPI), menduga hal ini terkait dengan lenyapnya hutan di area Pegunungan Mekongga, tempat dia dan timnya mengadakan ekspedisi beberapa tahun belakangan ini. Pemburu pun datang untuk menangkap kalong yang dianggap menjadi hama oleh masyarakat.

  Di daerah padat pemukim, kelelawar justru memenuhi relung-relung kelam yang ada di gedung bahkan bangunan sekolah. Manusia pun terganggu dengan aroma serta suara mereka. Bagi masyarakat, kelelawar bisa jadi merupakan hewan buruan atau justru dianggap sebagai hama. Tetapi di mata para peneliti, kelelawar yang juga berfungsi sebagi penyerbuk ini memiliki daya pikat tersendiri.

  Kota tuban mulai berselimut temaram senja saat saya menjejakkan kaki di kota ini untuk bertemu dengan Sigit Wiantoro dan Ibnu Maryanto, profesor mamalia zoologi dari Puslit Biologi LIPI. Ia sedang  memegang sebuah kantong berbahan kain belacu berukuran sebesar kertas folio. Tak berapa lama kemudian barulah saya sadari: di sekitar kursi yang saya duduki, menjulang tiga palem-paleman. Di sana-sini, tubuh pepohonan dipenuhi kain belacu berisi gumpalan sekepalan tangan.

  Saya mengikuti Sigit yang membawa salah satu kantong itu ke dalam ruangan berukuran sekitar tiga kali tiga meter. Perlahan, ia membuka bagian atasnya, menarik apa yang ada di dalamnya. Saya terperanjat. Alih-alih menatap muka bak anjing seperti bayangan wajah kelelawar yang ada di benak saya, muka mungil bagaikan monster muncul perlahan dari balik kain: kedua matanya hitam kecil. Di bagian tengah tampak gelambir bertumpuk-tumpuk bagai kelopak bunga tak beraturan, tak berbentuk muka sewajarnya. Cuping telinganya besar. As­taga, ini mamalia terjelek yang pernah saya lihat. Saya tak bisa membedakan, yang mana bagian hidung atau mulutnya. “Ini pemakan serangga,” jelas Sigit sambil mengamati kelelawar itu.

  Makhluk kecil itu memberontak, rongga di bagian bawah mukanya membuka dan me­ngatup. Namun hanya suara cericit kecil yang terdengar. Sigit mengambil sebuah peranti berlabel bat detector. Ukurannya sebesar buku novel besar. Ujungnya yang memiliki tonjolan mirip seperti lampu proyektor ia sodorkan ke muka si pemberontak. Dalam sekejap ruangan sepi itu dipenuhi oleh suara gemeratak yang nyaring dan tajam di telinga. Trak trak trak trak!

Alat berwarna putih dan kuning ini mampu menangkap dan menyimpan suara ultrasonik berfrekuensi di atas 20kHz yang dihasilkan oleh kelelawar untuk melakukan ekolokasi (ber­navigasi dengan mengeluarkan suara dan menangkapnya kembali untuk mengetahui situasi sekitarnya dan juga letak mangsa). Suara dalam rentang frekuensi ini tidak bisa ditangkap oleh telinga manusia.

  “Kami sedang membuat database kelelawar di Indonesia berdasarkan hasil rekaman ini. Jadi nanti suatu saat, untuk mengetahui spesies kelelawar yang tinggal di suatu tempat, orang tidak perlu lagi menangkapnya. Cukup dengan merekam suara kelelawar itu kemudian men­cocokkannya dengan data yang ada,” papar Ibnu kepada saya.

  Sejauh ini, sekitar 230 spesies dari seluruh Indonesia berhasil diketahui. Kedua peneliti ini pun menjelaskan, di Indonesia masih banyak kelelawar yang belum diketahui spesiesnya. Sementara itu, populasi kelelawar semakin menyusut akibat ulah manusia. “Ada beberapa jenis kelelawar yang sekarang sangat sulit dijumpai, salah satunya Neopteryx frosti, kelelawar pemakan buah yang dulu ditemukan di Sulawesi,” jelas Sigit.

  Keesokan harinya, langit sedang bersuka ria di pagi hari. Angin nyaris menepiskan semua awan. Matahari pun dengan gembira menuang­kan sinarnya yang amat menyengat ke per­mukaan tanah yang berdebu. Sambil sesekali menyeka kulit yang berpeluh, saya terus menapaki tanah berkontur rapat di daerah Tuban, Jawa Timur, menuju tebing-tebing karst yang menjulang tegak lurus nun jauh di sana.

 Mengikuti langkah para peneliti untuk mencari spesies baru kelelawar, akhirnya saya pun tiba di mulut Gua Sunten, Desa Guwoterus, Kecamatan Montong, Tuban. Sebelum ada pipa yang mengalirkan air ke bawah, mereka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, langsung dari mata air yang ada di dalam gua ini. Gua ini merupakan salah satu tempat yang dikeramatkan oleh penduduk. Hal itulah yang membuat tempat ini tetap terjaga kelestariannya, termasuk kelelawar yang ada di dalamnya.

  Dalam sekejap, Ibnu, Sigit, serta rekan-rekannya telah sibuk memasang jaring yang ujungnya mereka sangkutkan ke batuan tajam di bibir gua. Setelah itu kami pun mulai beriring-iringan merayapi kekelaman perut bumi. Sorot-sorot lampu di helm mulai menguak kegelapan, memunculkan wajah permukaan bebatuan di sana sini. Di depan saya terbentang sebuah ruang gua. Lantainya yang lunak terlihat miring ke bagian tengah, berakhir di sebuah danau sehitam malam. “Awas, danau ini dalam,” ujar Edy Toyibi, Direktur Lembaga Konservasi dan Perlindungan Sumber Daya Alam (LKPSDA) Cagar Tuban, yang menyertai tim peneliti.

  Menyusuri sisi kanan danau, langkah Sigit terhenti di bawah sebuah lorong sempit yang mengarah ke atas. Bertopang pada Toyibi sambil bersusah payah menjaga keseimbangan, Sigit pun mengais ketinggian dengan menggunakan tongkat jalanya. Tak lama, kantung-kantung kain belacu kembali terisi. “Tuban memiliki karakter gua yang berbeda karena area ini merupakan daerah karst muda. Banyak gua yang belum dijelajahi di sini, jadi kemungkinan ada jenis-jenis baru,” papar Ibnu menjelaskan alasannya menyusuri tempat ini.

  Sekitar satu jam kemudian, di bawah cahaya yang menerobos mulut gua, Ibnu dan Sigit duduk di atas sebuah batu besar. Keduanya sibuk menilik seekor kelelawar mungil yang ada di tangan Sigit. Mata dan muka Sigit tampak bersinar-sinar. Setelah berdiskusi panjang lebar dengan Ibnu mengenai morfologi muka sang kelelawar pemakan serangga yang unik tersebut, ia pun berkata kepada saya, “Tampaknya ini spesies baru…” Di sebelahnya, Ibnu mengangguk sambil tersenyum.

  Di balik harapan peneliti akan tetap lestari­nya kehidupan kelelawar, pada awal 2009 Hasudungan Gurning dari Divisi Perluasan Proyek PT Kaltim Prima Coal (KPC) yang ber­tanggung jawab untuk menyediakan material bagi ekspansi pertambangan di Sangatta, Kalimantan Timur, termangu. Di dalam area karst yang ia survei kali ini ia menjumpai dua mulut gua. Dari luar terdengar riuh suara cericit.

  Di dalam mulut gua terbesar, ribuan kelelawar berwarna cokelat menutupi langit-langit. Pada Maret 2009, para ahli dari Institut Teknologi Bandung serta LIPI pun datang untuk meneliti gua tersebut. Di dua gua yang akhirnya diberi nama Gua Kelelawar dan Gua Licin itu ternyata terdapat ribuan kelelawar dari tiga spesies berbeda: Rhinolopus creaghi, Rhinolopus lepidus, dan kelelawar barong rusa yang memiliki nama ilimiah, Hipposiderus cervinus.

  “Sebenarnya perusahaan sangat membutuh­kan lahan, tapi mengingat gua tersebut dihuni oleh kelelawar yang ikut mengontrol populasi nyamuk malaria di Sangatta dan untuk mem­pertahankan fungsi ekologi, akhirnya daerah ini pun dipertahankan,” ujar Wijayono Sarosa, Manajer Pemberdayaan Masyarakat PT KPC.

  Saat menuju area ini saya melintasi Kota Sangatta, di beberapa perumahan terpampang papan berisi peringatan: Waspada demam berdarah! Menurut Mas Noerdjito, Peneliti Utama Puslit Biologi LIPI, kota ini adalah daerah yang rawan dengan risiko penyakit malaria, sama seperti yang dikemukakan oleh dokter yang pernah bertugas di sini. Para ahli pun memperkirakan, rentang ruang pakan tiga kelelawar pemakan serangga ter­masuk nyamuk penyebar penyakit malaria, chikungunya dan kaki gajah ini mencapai luasan radius 15 hingga 20 kilometer. Area ini setidaknya me­lingkupi sebagian dari kecamatan Sangatta Utara, Sangatta Selatan, dan Bengalon yang menurut data Badan Pusat Statistik Kabupaten Kutai Timur 2010, penduduknya secara ke­seluruhan berjumlah 113 ribu jiwa.

  Pindi Setiawan, anggota tim ahli karst dari Kementerian Lingkungan Hidup yang tergabung dengan tim konsultasi karst yang diterjunkan untuk melakukan penelitian menjelaskan, area karst ini memiliki peran yang sangat besar dalam menjaga keseimbangan ekosistem. “Bahkan di sini terdapat mata air yang merupakan salah satu hulu dari Sungai Kenyamukan,” ujarnya. Ke­nyamukan adalah salah satu sungai yang penting bagi kelangsungan hidup masyarakat serta satwa yang ada di sekitarnya.

  Beberapa bulan kemudian, area karst yang luasnya 4,6 hektare itu pun ditetapkan sebagai kawasan yang tak akan diganggu gugat oleh pihak penambang. Dari kejauhan, daerah tersebut tetap hijau di antara area yang dilalui truk-truk raksasa pengangkut batu.

  Saya berdiri tak jauh dari mulut gua. Dari atas bukit ini, kota Sangatta tampak mulai berhias diri dengan kelap-kelip lampu di kejauhan, tepat di bawah sisa-sisa langit sore di arah barat. Tak ada lagi suara cericit. Hanya kepakan sayap yang sesekali tertangkap telinga. Mereka keluar dari gua, mengitari pepohonan, lalu lenyap entah ke mana. Saat manusia mulai lelah di ujung senja, makhluk-makhluk malam ini justru baru mulai bergiat mencari mangsa. Berdasarkan hasil penelitan, satu koloni kelelawar bisa mengon­sumsi berton-ton serangga setiap malam, me­nyelamatkan manusia dari penyakit-penyakit yang bisa berakibat fatal dan hama pertanian.

  Sekitar satu jam berkendara dari tebing tempat Gunarso memburu kelelawar, saya dibuat kagum oleh Gua Lawa yang terletak di Desa Umbulrejo, Kecamatan Ponjong, Gunung Kidul, Jawa Tengah. Gua ini indah. Bangunan tingkat enam akan cukup jika didirikan di dalamnya. Di atasnya terdapat dua cerobong berujung langit yang mempersilakan sinar mentari menyusup, menyoroti dinding gua yang dipenuhi oleh lumut hijau tua.

  Jalan setapak terukir di sepanjang bibir lembah yang menempel ke dinding gua; lembah buatan manusia yang sudah dikerjakan sejak sekitar 20 tahun yang lalu. Batu-batu besar setinggi tiga meter bergeletakan di dasar gua, berhiaskan berbagai benda berwarna-warni; sampah-sampah plastik. Salah satu dari dua batu terbesar hanya disangga oleh dua bilah bambu.

  Di dalam gua tampak sebuah lubang hitam setinggi sekitar lima belas meter yang meng­antarkan kami ke ruang gua lainnya. “Dulu tinggi tanah di situ menutupi separuh mulut gua,” ujar Pur, salah seorang penambang fosfat yang sedang bekerja di sana. Di masa awal penambangan, mereka bisa mendapatkan sekitar delapan ton fosfat dalam satu hari. “Kalau sekarang, dapat dua ton fosfat saja sudah untung, mbak,” keluh Pur.

  Dengan amat berhati-hati saya berjalan di atas bebatuan yang menjadi jalur operasional mereka. Di kiri kanan saya, lubang galian men­capai kedalaman tiga hingga 15 meter. “Awas, jangan berdiri di di atas sana ya mbak,” Pur meng­ingatkan. Jarinya menunjuk ke batu di tepian jalan setapak yang tampak rapuh dan disangga oleh bambu sepanjang sekitar 15 meter, membuat saya bergidik ngeri.

  Pur masih ingat, dulu sebelum gua ini di­tambang, kelelawar yang tinggal di gua ini amatlah banyak jumlahnya. Itu sebabnya gua ini dinamakan Gua Lawa. Kini, suara kelelawar hanya dapat saya dengar di ruang gua bagian dalam, tempat para penambang mulai me­ngeruki guano yang ada di sana beberapa tahun belakangan ini.

  Di Tuban, Jawa Timur, penambangan fosfat dimulai sejak tahun 1989. “Tujuh puluh hingga delapan puluh persen gua di Tuban diambil fosfatnya,” ungkap Edy Toyibi kepada saya. Kemudian hal ini semakin marak pada tahun 2000-an. “Apalagi di kawasan perkebunan,” ujar­nya. Kegiatan penambangan ini tentu meng­ganggu siklus hidup kelelawar. Kepergian sejumlah besar kelelawar pastinya memberikan dampak negatif bagi daerah tersebut. “Di sini sudah ada efeknya, yaitu gagal panen. Tetapi pejabat tetap saja tidak peduli.” ujar Edy gemas.

  Pada 2010, sundep (Scirpophaga innotata) menggerogoti akar padi. Sedangkan pada 2011, kawanan belalang menyerang ladang-ladang jagung. Menurut Edy, hal ini jarang terjadi di Tuban dan ditengarai akibat populasi kelelawar yang semakin merosot. Sulit baginya untuk meyakinkan pejabat setempat bahwa nilai gua-gua yang diselamatkan amatlah besar, apalagi gua di Tuban bukanlah gua berornamen indah yang bisa menarik hati para turis.

  Saya duduk di atas batu Besar, tepat di mulut Gua Lawa. Dari sini saya dapat memandangi lembah yang terhampar di hadapan saya. Matahari sudah tak lagi terlihat, hanya sisa sinarnya saja yang  menyoroti perbukitan yang seolah berdiri menjaga lembah. Angan saya pun kembali ke puluhan tahun yang lalu. Seperti yang diceritakan oleh penduduk sekitar. Dahulu, alih-alih hamparan tanah kering di dasar lembah,  sebuah danau  nan jernih berdiam di sana, tempat penduduk mengambil air untuk keperluan sehari-hari. Di sore seperti ini, saat angin dengan lembut membelai muka, mungkin ribuan kelelawar sudah mulai keluar dari gua, beriring-iringan menuju langit senja yang indah, bersiap mencari dan memangsa serangga yang ada di luar sana.

  Namun tiba-tiba lamunan saya dihentikan oleh raungan mesin truk kuning yang baru saja dinyalakan. Sekitar 200 karung membuncah membebani truk, ditambah oleh para penambang yang duduk di atasnya. Truk itu pun tertatih-tatih melaju di jalan tanah, meninggalkan kepulan debu di belakang roda. Kadang ia tersendat melewati jalan yang tak rata. Perlahan-lahan truk itu semakin menjauh. Suaranya lenyap, tergantikan oleh kicau walet. Hati saya menciut mengingat truk itu pasti akan kembali  esok hari dan hari se­terusnya, seiring semakin pupusnya harapan hidup mahkluk-makhluk kecil yang ada di dalam gua, entah sampai kapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar