Chocolate Chip Cookie

Selasa, 02 Agustus 2011

Menggali Cinta dengan Puasa


Fathurahman Az Zidany,

Marilah rasa takwa selalu kita pelihara dan kita tingkatkan, sehubungan keberadaan bulan Ramadan, syahrul ibadah. Sebuah bulan dengan kondisi yang sangat mendukung sekali bagi peningkatan kadar keimanan, maka hendaklah selalu diupayakan peningkatan kualitas puasa dengan berlomba mencari pahala dan mengerjakan amal kebajikan, sehingga tercatat oleh Allah sebagai manusia yang berprestasi di bulan Ramadan ini.
Ternyata bukan hanya umat Muhammad yang berpuasa. Sejarah mencatat, sebelum kedatangan Muhammad, umat nabi yang lain diwajibkan berpuasa. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, sejak Nabi Nuh hingga Nabi Isa, puasa wajib dilakukan tiga hari setiap bulannya. Bahkan, Nabi Adam Alaihissalam diperintahkan untuk tidak memakan buah khuldi, yang ditafsirkan sebagai bentuk puasa pada masa itu. “Janganlah kamu mendekati pohon ini yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (Al-Baqarah: 35).
Begitu pula Nabi Musa bersama kaumnya berpuasa empat puluh hari. Nabi Isa pun berpuasa. Dalam Surah Maryam dinyatakan, Nabi Zakaria dan Maryam sering mengamalkan puasa. Nabi Daud Alaihissalam, seorang raja besar nan agung pun sehari berpuasa dan sehari berbuka pada tiap tahunnya.
Nabi Muhammad SAW sendiri sebelum diangkat menjadi rasul, telah mengamalkan puasa tiga hari setiap bulan dan turut mengamalkan puasa Asyura yang jatuh pada hari ke-10 bulan Muharram bersama masyarakat Quraisy yang lain. Malah masyarakat Yahudi yang tinggal di Madinah pada masa itu turut mengamalkan puasa Asyura.
Demikian juga dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan, melakukan puasa demi kelangsungan hidupnya. Selama mengerami telur, ayam harus berpuasa. Demikian pula ular, berpuasa baginya untuk menjaga struktur kulitnya agar tetap keras terlindung dari sengatan matahari dan duri hingga ia tetap mampu melata di bumi. Ulat-ulat pemakan daun pun berpuasa, jika tidak ia tak akan lagi menjadi kupu-kupu dan menyerbuk bunga-bunga.
Sehingga kesimpulannya, puasa adalah merupakan sunnah kehidupan (sunnah thoyyibah). Puasa merupakan hukum-hukum kehidupan yang sebenarnya memang wajar adanya bilamana manusia ingin menjadi lebih baik. Jika berpuasa merupakan sunnah thobi'iyyah (sunnah kehidupan) sebagai langkah untuk tetap survive, mengapa manusia tidak? Terlebih lagi jika kewajiban puasa diembankan kepada umat Islam, tentu saja memikili makna filosofis dan hikmah tersendiri. Karena, ternyata puasa bukan hanya menahan dari segala sesuatu yang merugikan diri sendiri atau orang lain, melainkan merefleksikan diri untuk turut hidup berdampingan dengan orang lain secara harmonis, memusnahkan kecemburuan sosial serta melibatkan diri dengan sikap tepa selira dengan menjalin hidup dalam kebersamaan, serta melatih diri untuk selalu peka terhadap lingkungan.
Rahasia-rahasia tersebut ternyata ada pada kalimat terakhir yang teramat singkat pada ayat 183 Surah Al-Baqarah. Allah SWT memerintahkan, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183).
Allah SWT mengakhiri ayat tersebut dengan “agar kalian bertakwa”. Syekh Musthafa Shodiq al-Rafi'ie (w. 1356 H/1937 M) dalam bukunya Wahyu al-Qalam mentakwil kata ‘takwa’ dengan ittiqa, yakni memproteksi diri dari segala bentuk nafsu kebinatangan yang menganggap perut besar sebagai agama, dan menjaga humanisme dan kodrat manusia dari perilaku layaknya binatang. Dengan puasa, manusia dapat menghindari diri dari bentuk yang merugikan diri sendiri dan orang lain, sekarang atau nanti. Generasi kini atau esok.
Mazhab sosialisme, paham komunisme yang sudah bangkrut, yang cuma sekadar menganggap bahwa agar tidak ada orang miskin maka semua manusia harus sama rata-sama rata, yang menganggap landasan hidup adalah materialisme dan tidak mengakui adanya Tuhan, akhirnya harus tunduk dan mengaku kalah dengan sistem ajaran Islam.
Puasa sebagai ‘satu-satunya sistem sosialis yang paling unik dan justru paling benar!’ Bagaimana tidak, puasa adalah kefakiran secara ‘paksa,’ semua orang Islam dipaksa miskin, semua dipaksa untuk menderita, dengan aturan-aturan yang ditentukan oleh syariat agama kepada seluruh umat (Islam) tanpa pandang bulu. Islam memandang sama derajat manusia, terutama soal ‘perut’. Mereka yang memiliki Dollar, atau yang mempunyai sedikit Rupiah, atau orang yang tak memiliki sepeser pun, tetap merasakan hal yang sama: lapar dan haus.
Jika salat mampu menghapus citra arogansi individual manusia diwajibkan bagi insan Muslim, haji dapat mengikis perbedaan status sosial dan derajat umat manusia diwajibkan bagi yang mampu, maka puasa adalah kefakiran total insan bertakwa yang bertujuan mengetuk sensitivitas, dan rasa solidaritas manusia dengan metode amaliah (praktis), bahwasanya kehidupan yang benar berada di balik kehidupan itu sendiri. Dan kehidupan itu mencapai suatu tahap paripurna manakala manusia memiliki kesamaan rasa, atau manusia ‘turut merasakan’ bersama, bukan sebaliknya. Manusia mencapai derajat kesempurnaan (insan kamil) tatkala turut merasakan sensitivitas satu rasa sakit, bukan turut berebut melampiaskan segala macam hawa nafsu.
Ada sejenis kaidah jiwa, bahwasanya ‘cinta’ timbul dari rasa sakit. Di sinilah letak rahasia besar sosial dari hikmah berpuasa. Dengan jelas dan akurat, Islam melarang keras segala bentuk makanan, minuman, aktivitas seks, penyakit hati dan ucapan merasuki perut dan jiwa orang yang berpuasa.
Dari lapar dan dahaga, betapa kita dapat merasakan mereka yang berada di garis kemiskinan, manusia papa yang berada di kolong jembatan, atau kaum tunawisma yang kerap berselimutkan dingin di malam hari atau terbakar terik matahari di siang hari. Ini adalah suatu sistem, cara praktis melatih kasih sayang jiwa dan nurani manusia. Adakah cara yang paling efektif untuk melatih cinta? Bukankah kita tahu bahwa selalu ada dua sistem yang saling terkait: yang melihat dan yang buta, yang cendikia dan yang awam, serta yang teratur dan yang mengejutkan.
Jika cinta antara orang kaya yang lapar terhadap orang miskin yang lapar tercipta, maka untaian hikmah kemanusiaan di dalam diri manusia akan muncul. Orang yang berpunya dan hatinya selalu diasah dengan puasa, maka telinga jiwanya mendengar suara sang fakir yang merintih. Ia tidak serta-merta mendengar itu sebagai suara mohon pengharapan, melainkan permohonan akan sesuatu hal yang tidak ada jalan lain untuk disambut, direngkuh dan ditanggapi akan makna tangisannya itu. Orang berpunya akan memaknai itu semua atas pengabdian yang tulus, iimaanan wa ihtisaaban. Semua karena Allah, karena hanya Dia Sang pemilik segala.
66 tahun Indonesia telah merdeka, maka minimal 66 kali mayoritas bangsa Indonesia telah melaksanakan puasa Ramadan. Tetapi puasa bangsa Indonesia belum mewujudkan harapan dari perintah Allah tentang ibadah puasa ini. Bangsa Indonesia belum bisa meraih kemenangan spiritual dalam perjalanannya. Sehingga ketika badai krisis masih sering kali datang, dan kita tidak mampu berlindung, sehingga terjadilah krisis berkepanjangan.
Padahal kita tahu, bahwa biang kerusuhan dan kerusakan bangsa adalah kemiskinan, tentu saja yang dimaksud adalah kemiskinan struktural. Yaitu, kemiskinan yang dikondisikan. Negara kita digoyang oleh berbagai krisis karena mereka yang ‘di atas angin’, kaum elite dan orang yang diberi kekuatan lebih, sengaja menciptakan kemiskinan struktural dari semua jenis kemiskinan, baik miskin fisiologi, miskin intelektual, miskin emosional dan miskin spiritual.
Semua kemiskinan itu menyebabkan kita lemah fisik, lemah mental dan lemah agama. Akibat kemiskinan yang merata ini, maka kita sulit mencari solusi untuk keluar dari krisis. Miskin fisiologi menyebabkan lemahnya bekerja secara fisik, yang akhirnya menjadi manusia yang tidak produktif.
Miskin intelektual menyebabkan kita tidak menemukan jalan keluar yang logis dan sistematis. Miskin emosional membuat kita tidak memahami orang lain, kita hanya memahami kepentingan diri sendiri, kelompok kita sendiri atau golongan kita sendiri. Miskin spiritual keagamaan menghasilkan manusia-manusia yang tidak mengerti makna hidup. Kita tidak mengerti makna kebersamaan hidup. Akhirnya, dengan adanya kemiskinan yang melanda negeri kita ini, kita senantiasa hidup dalam perbudakan, baik perbudakan dari bangsa sendiri maupun bangsa lain dalam pelbagai macam bentuknya.
Demikian tadi sekadar perenungan akan makna yang kadang justru kita lupakan. Puasa, jangan sekadar menganggap sebuah perintah “penyiksaan” untuk diri sendiri. Tapi harusnya lebih lanjut mampu kita renungkan, bahwa dengan rasa lapar ini, kita bisa mempunyai rasa solidaritas kepada kaum miskin papa. Semoga ibadah puasa kita mampu mengantarkan kita menjadi orang yang bertakwa dan meraih kemenangan spiritual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar